BAB 1 : Prolog G-30-S
Konflik
Kubu
Indonesia 1960-an termasuk negara
yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang
Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan
Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu
pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai
Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia
memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan
pernyataan keras: Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif
baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki
sendiri.
Dasar sikap Soekarno itu jelas:
Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di
Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi
kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam
ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar
potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia
akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif
Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno
menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang
besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi
jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya,
Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya, mereka malah membangun
hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih
para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh
CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul
pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis
berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini
dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya
mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer - dengan pasokan bantuan AS
- seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih
mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada
Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik
dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya
keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur
kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu:
1. Unsur Kekuatan Presiden RI
2. Unsur
Kekuatan TNI AD
3. Unsur Kekuatan PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni
Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri,
Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab
dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua
kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul
Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak
mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan
sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota
organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan
jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan
Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana
umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN
Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto
Menteri Urusan Land-reform.
Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952
pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan
Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya
penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut
diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka
tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup
hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut
mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal
mudah.
Caranya, antara lain, Perjuangan
Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk Gerakan Front Nasional yang
aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam
kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu
Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para
pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung
TNI AD.
Saat itu saya langsung membuat
kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan
Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani).
Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi,
cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen
saya, CIA berada di belakang Nasution.
Presiden Soekarno akhirnya
mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah
sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka,
Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi
peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap
dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno
dalam urusan administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan
operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi
dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal,
jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari
Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam
operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani
tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang
sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani mengganti
beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian
diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah
peta situasi yang sesungguhnya.
Itu gerakan militernya. Sedangkan
gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr.
Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan
Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu
saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk
mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan
ketika hubungan Nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya
Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan
di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh
Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah selanjutnya bagi Soekarno
yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN
(Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang
dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno
membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin
oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani
ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.
Dari perpektif Soekarno, retaknya
hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian
Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan
begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah
menjadi sangat lemah.
Melihat kondisi demikian, para
pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara
Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu
terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada
Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior,
termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui
Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan
jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada
pembangkangan.
Dua kubu yang berkonflik itu pada
dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun
Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto yang
ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak
kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani
itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada
pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution
dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak
datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu
diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan
penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak
datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada
pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200
perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak
datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya
Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran
AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak
memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI.
Doktrin itu menimbulkan kecemasan
baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu
semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah
dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap
Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.
Politik Muka
Dua
Soeharto, salah satu perwira yang
ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang
tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani.
Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat
Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya, saat di Divisi
Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong
(kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi
pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara
lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa
penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu
cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa
penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong
Soeharto dan Liem.
Saat mengetahui ulah Soeharto,
kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng
Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH Nasution lantas
mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari
AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih
bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto
diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di
Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja.
Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen
Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi
juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai
guru teori Negara dalam Negara.
Karena itulah, saat Soeharto
ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di posisi
serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution pernah
mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi,
toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa
Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.
Namun akhirnya Soeharto membangun
kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution
mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan
Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak
efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan
Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution.
Keakraban AS dengan Nasution - dari perspektif AS - awalnya perlu untuk
mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat
kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad,
Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal Januari 1965 di kantor
Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang
ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala
Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga
ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad.
Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba
di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim.
Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
Pemanggilan Yoga Soegama dari
Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke
Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan
Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab
Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan
Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah
bersama-sama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga,
mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya.
Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu anggota trio
Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara
blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang
pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis
hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia
membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama
sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut
politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno
dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio
Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto.
Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan.
Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada
di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana
pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di
Jakarta.
Tentang kekompakan trio Soeharto
mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD
mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana
pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto
yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya,
meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani
merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun
terselubung.
Di saat rencana pengangkatan
Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di
Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu
dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama.
Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto
harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan
manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat
itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden,
sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu.
Namun, ternyata skenario Soeharto
(melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan
perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang
menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain
tidak.
Yoga semula mengaku bahwa
pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan
bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro
hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan
Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.
Berdasarkan memori Yoga yang
terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa
Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut - dikatakan Yoga - agar ridak
menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak
pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah
benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga
sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang
anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah
komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan operasi
intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya
adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama
sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau
mungkin kedua-duanya.
Terlepas dari apakah Yoga
berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian
pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan
Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah
dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu
terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para
wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi
Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses
komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi
Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD,
maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah
berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya
tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya menyimpulkan demikian, sebab
hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan
percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik
arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan
berdalih mengamankan negara.
Soal itu, sekilas saya ceritakan
sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan
Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah,
termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir.
Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta.
Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh
Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat
dalam penculikan itu.
2 Juli 1946 kelompok penculik
berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas dikerahkan
untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga
mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun
kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana
Negara Yogyakarta, esok harinya.
SK dibuat dalam empat tingkat.
Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat
mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan
rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag
berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan
seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda:
Presiden RI Soekarno.
Tetapi percobaan kudeta ini
ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu
Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik
menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota
komplotan penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.
Itulah karakter Soeharto dan ia
bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat
menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas
peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik
sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik
Bermuka Dua.
Embrio Dewan
Jenderal
Pada akhir tahun 1963 saya selaku
Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili
Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena
Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana
Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi.
Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung
Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika
di Indonesia yang sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat
beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti pembicaraan kami, pimpinan
RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon
tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan
kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, saya atas
nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab
bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini
kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya
laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno
menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya
begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita,
asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno
menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka
gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang
tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim.
Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di
sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT
juga tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965 Bung
Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung
bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah
cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara
maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang
dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu.
Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi - ini yang sangat penting
- Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau hanya mengatakan
demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah
pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal
ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima
adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan
hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan
Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari
kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di dalam buku
sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu
tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan
Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak
yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung
Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan
bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir,
karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua
tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang
berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman
Orde Baru bicara politik - apalagi membahas sejarah versi Orba - bisa membuat
yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut
dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani
dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani
sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk
Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju
ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah Yani menyampaikan
sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan
elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut. Juga muncul
banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga
tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno
sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut.
Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak
diberitahu.
Sampai akhirnya Bung Karno
memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara
pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi
tentang Angkatan Kelima.
Seorang sumber saya mengatakan,
ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1
Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad,
sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar.
Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang
kedua di AD, yakni Gatot Subroto.
Namun Yani dibunuh beberapa jam
sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar
pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia menghadap
Presiden.
BAB 2 : Gerakan Yang Dipelintir
Bung
Karno Masuk Angin
Ada peristiwa kecil, namun
dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi
sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno
pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak
ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan,
pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang
memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika
tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan
bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti
ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI - yang saat itu
berhubungan mesra dengan Bung Karno - merasa khawatir pimpinan nasional bakal
beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI
sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut
analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka
menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang
mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku,
sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena
pelakunya - Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT - ketiga-tiganya tidak dapat
memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai
meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu
tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga
orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan
lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga
mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung
Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi
dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru,
Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah
diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi
oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu
adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung
Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit
juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang
tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar
di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan
keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan
Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah
bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian
menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus
G30S yang didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak
benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto
sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau
menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk
melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam
diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus
PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh
sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia
mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden
dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung
Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau
kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi
rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada
pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung
Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi
setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak
diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku
yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis
bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia
memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika
ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya
Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit
akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI?
Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden
Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965
kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI.
Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah
cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI
mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI
memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field).
Sebab, AD akan - dengan seolah-olah terpaksa - membalas serangan PKI. Dan,
serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya
membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI
saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu
saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing.
Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa.
Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan
tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh
mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum
pernah diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan
gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung
ditembak mati tanpa proses pengadilan.
Dewan
Jenderal
Isu Dewan Jenderal sebenarnya
bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu,
Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT.
Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran
bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung
Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas
punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk
Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani
tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya
mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai
sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD
yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira
yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu
selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden
memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan
dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah
sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga
beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh
wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani
menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa
jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu
Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan
Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa - ia memang harus tanggap terhadap segala
kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas
Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap
mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto
mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan
oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung
(lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).
Saya menerima laporan mengenai
isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat
Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada
sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan
kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya
langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng
saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di
Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya
kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya mendapat jawaban
yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap
membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul
informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil.
Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus Herman
Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama
belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965
diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat
itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia
bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut
ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan
kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan
Jenderal - menurut rekaman itu - adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai
Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya)
merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen
Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri
Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi
menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas saya serahkan
kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya
gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk
klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang
sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika
alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu
rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung
akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar
ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan
isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah
telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di
Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu
bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi
Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia
adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malaysia
mengirimkan pasukan ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama
kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di
meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah
dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang
kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat.
Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan
di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi
distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan
demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran
film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat
gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris
yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di
sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang
persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf
yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army
friends.’
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah
beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia.
Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah
mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala
BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat
saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya
laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut.
Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan
berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima
untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen
Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai
target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau
sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya,
tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh
provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya
dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD
dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan
provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang
menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke
tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia
seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda.
Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen
Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan
provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas
terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk
dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga
bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga
diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar
Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap
jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang
menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius
menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah
pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas
Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada
bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya
teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya
kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman
itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani.
Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus - jika
memungkinkan - mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut.
Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan
sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu,
maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak mengantisipasi arah
selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap
meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan
bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada
Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan
sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada
Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok
Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan.
Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel
Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok
lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal
mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka peringatan
Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto
menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan
Soeharto ini benar-benar strategis.
Peran Amerika
Serikat
Apakah AS berperan memlintir isu
sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai
oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua:
hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno.
Selain tidak suka pada Bung
Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia.
Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam
hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan
hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan
Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa
perusahaan lainnya - bagi AS - harus aman.
Karena itu politik Bung Karno
dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan
mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno
agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga
sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan
PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar
negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik
Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif
saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target
mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan - sehingga PKI masuk ladang
pembantaian - sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih
untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka
akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit
keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh
militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak
dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata dari
RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen
Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah
warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa
dibocorkan?
Itu semua secara intiusi.
Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam
jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak
sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah
bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan.
Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda
membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota
PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu
menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan
untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya
mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah
selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah
kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya,
pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah
menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut
bermain dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di
Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di
sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya
agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara,
walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS
sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal
adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang
subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa
Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin
pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard
Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober
1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja
sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS
memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya - khusus untuk
penghancuran komunis - terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka
butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut
Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah
tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu
sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN
Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi
kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar,
apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang
disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA
beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat
kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku
dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga
Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal.
Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan
bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas
perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang
memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965
malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel
Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari
setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia
ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI.
Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati.
Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya
sendiri.
Menjalin
Sahabat Lama
Ini adalah bagian yang mengungkap
keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama
- Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief - beberapa waktu
sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan
membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto
ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng.
Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan
berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung
tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya,
sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini
terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih
tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin
dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya
suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang
mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di
bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto
dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi. Mereka
dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu
Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung
tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15
Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei
1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang
sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan
oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto
berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik Untung
menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan
Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat
Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi
anak-buahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata,
Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana.
Soeharto hanya bisa kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan
PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam
perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak.
Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin
meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah
ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang
kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan
Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI - seperti sudah
saya sebutkan di muka - saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa
dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam.
Nah, saat konflik meningkat
itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan
Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik
strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut
kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun
beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti
membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964,
Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien)
menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri
pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak
antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi dan
terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting,
tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah
Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat
itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung
yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga
membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas
anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani.
Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung,
Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949
di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI)
hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di
Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat
operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil
(termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun
kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa
dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari)
mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem
1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai
buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto
adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu
tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia
kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan
Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis
pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari
berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam
malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda
terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka
sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan
yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil
direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain.
Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka
memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga
mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di
seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok
pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda.
Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan
Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis
belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di
saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat.
Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan
besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang
tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa
pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang
sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief.
Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan
tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah.
Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi
pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief
dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief
bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan
Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir
dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu
pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief
kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja
- menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak
jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang
kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri
bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini
diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan
terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu
Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief
menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti
disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret,
Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara
Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya.
Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama
dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen,
Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief
mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia
payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh
Soeharto.
Kini cerita lama terulang
kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali
Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto
ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief)
memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah
orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga
keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca
konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak,
mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun saya
sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka
bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah
dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik
antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto
juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian
ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu
politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan - di luar jalur
komando - Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara
Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar.
Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata
Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu
hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas
siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka
ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan,
pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya
Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan
bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap
mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan
pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan
Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.
Apa jawab Soeharto? Bagus kalau
kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah
Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan,
akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran
bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu
secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto
dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa
lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto.
Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya
hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan
Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief
juga terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa
Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Bantuan Soeharto ternyata
dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto
didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung.
Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur
Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965.
Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam
komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan
Soeharto dari daerah dan Kostrad.
Setelah G30S meletus dan Soeharto
balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI.
Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung,
Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober.
Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak
26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal
jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang
saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah
sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung
Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan
Soeharto.
Pertemuan penting kedua
Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan
di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya
pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal
akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak
bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami
beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir
Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul
23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo
Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana.
Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul
04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh
Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor
kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol
Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan
Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30
September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan
Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada
saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak
Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto,
ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat.
Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto
berada di belakang mereka.
Saya ulangi: Pada sekitar pukul
01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto
berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan
bergerak mengambil para jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan
Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal 30 September
1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama
kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia
ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang
akan diculik.
Kepada Brackman dikatakan
demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang
berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan sup
panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak
kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara
yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya
sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief
adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD
bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan saya. Untuk
membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata
Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga tengah malam, lantas
pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto
diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan
pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam
daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der
Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama komplotannya.
Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir
membunuh saya di tempat umum.
Meletuslah
Peristiwa Itu
Saat G30S meletus saya tidak
berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba
(Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera
Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur.
Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara
Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun
kemudian kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang,
rombongan saya ke Medan.
Pada tanggal 2 Oktober saya
ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari
sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada
pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa
ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan
pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan
orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor
menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan kenapa
Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri
Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga
pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara
darurat di dekat Bogor.
Saat saya tiba di Bogor, suasana
sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno
tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal. Saya
mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan
Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor.
Sehari sebelumnya, peristiwa
hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada
dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya
di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para
kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian
seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya
catat, sebagian tidak.
Saya masih ingat hampir
seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang
sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya
akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan
sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian
cerita versi Soeharto sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965
pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang
banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya,
saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas
terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal - termasuk bocoran
rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen
Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan
akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin
Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto,
menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot
Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat
meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep
Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan
Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di
sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus
berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku
pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan
terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh
seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap
para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata
Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa
aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi
sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan dalam
situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka
Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan sesuatu yang
tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan,
tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang
berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1 Oktober 1965
pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi penculikan
terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti sekarang
(semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian
beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada
pukul 07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan
yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan
Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan sebagian besar (kira-kira
dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat:
Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh
Untung.
Pasukan dari daerah dengan
perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra
Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa
jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam
keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto
mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah
ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi
berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan
fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan
berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri
sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia
tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan
terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas,
bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad
membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam,
padahal dia melihatnya sendiri.
Yang sebenarnya terjadi adalah
bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku
biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan melihat
persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad
ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang
mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya
ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas
tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto
rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini
hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD,
pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan
pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri
sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu merupakan
kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan
H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan
membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan
pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul
04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting
dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak
dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal
diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk
diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi
lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk
konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan
sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif
Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan
oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa
kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung,
Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi
umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi.
Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada
atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai
pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal
diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku
penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal
Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak
ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya
terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung
adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh
sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono.
Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari. Karena itu pintu
rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono
langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal
dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh
sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena penjemputnya
pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang dijadwalkan
untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB.
Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak
ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah
sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari
mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia
dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih mengenakan piyama. Meskipun
kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani yang
terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti
pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju,
jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit
seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani
masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberondong tembakan.
Untuk penculikan para jenderal
yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di berbagai
buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah Soeharto tumbang.
Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah
di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih
ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi
jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan
kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa
itu merupakan provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung
dengan baik oleh imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi
yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara maksimal oleh
seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta.
Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu
bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI,
tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi
kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di
satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi
negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak
kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling
demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan
kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi
liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut
hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan
PKI.
Dari kacamata internasional -
terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones -
peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat yang
dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang
direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto.
Dari Detik Ke
Detik
Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno
berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi
(Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para
jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun
menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan
tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju
Istana.
Dalam waktu cepat Parto mengambil
inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap
firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke
Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke
tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan
presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama
adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja
secara cepat.
Itu asal-muasal presiden berada
di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik
dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu
oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen
Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di
Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau
Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI.
Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani
berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim.
Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih
lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar
resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan
intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan
tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara
yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan
intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30
September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu
itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya.
Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para
jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari
pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram
ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa
beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para
jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah
bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya
masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku
Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan
pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah.
Demikian antara lain isi
instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan
Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan
membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut
Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan.
Jelas ini membingungkan Untung.
Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului
gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini
didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah
anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat
cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan
yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah
menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan
Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah,
katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah
anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar
dieksekusi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya
instruksi Presiden --mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian - Soeharto
memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar
menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan
perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang
Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari
Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo
sudah disiapkan untuk menyerbu Halim.
Saat Bambang menyampaikan pesan
Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan
stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto
malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno
bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno
meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat
para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang
ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar
Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena
mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah
jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung
Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim.
Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor - menuruti nasihat
Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di
Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan
Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah
tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab - seperti saya sebutkan terdahulu -
sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto.
Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno
yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno
ditekan tentara seperti saat itu.
Sekitar pukul 14.00 WIB - masih
pada 1 Oktober 1965 - kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa
Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat
itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari
target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan
Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah
ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya.
Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya
termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk
kudeta.
Pernyataan Soeharto ini
menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan
menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah
Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal.
Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3
Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi.
Hanya saja kudeta 3 Juli 1946
adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang
berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua
manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional.
Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena
menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1
Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling
memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal
melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal
sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara
pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan
Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus
berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman,
lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB
Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi
penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung.
Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno.
Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad
A Yani diculik.
Perubahan demi perubahan dalam
sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena
ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan
pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya
(siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan
tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana
sehari-hari (care-taker) Menpangad.
Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto
didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung
Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan
bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden
yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena
kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan
bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah
atau buku kesaksian pelaku sejarah.
Bung Karno menerima mereka.
Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto
untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar
Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga
meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat
dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung
Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen
Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama
Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot
sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk
memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik
kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima
oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak
pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa
aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer.
Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam
kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa
Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih
tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta
surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong
kewenangan Presiden?
Namun toh akhirnya surat kuasa
dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu
sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali
mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan.
Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih
pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok
bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak
meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah
menjadi tawanan Soeharto.
Setelah para pembantu dekat Bung
Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi
teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah
brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar
Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan - yang paling
hati-hati - ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul
pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani,
tentu akan lain ceritanya.
Saya sangat yakin Leimena
benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno.
Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor
memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali
atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara.
Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di
sana?
Namun karena pembicaraan beredar
menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di
Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras
terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi
apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya
sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian (masih
hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya
juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya
yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian
Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang
lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan
Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad)
yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen
Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya
Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak,
sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung
itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk
memimpin negara.
Esoknya pembantaian terhadap
anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu
Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua
yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai
sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat
mengerikan.
Pembantaian PKI dimulai beberapa
saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen
Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi
sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri.
Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja
nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak
sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian
berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini
menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada
keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi
kuasa.
Pada tanggal 16 Oktober 1965
Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani.
Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung
oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan
Kostrad.
Di beberapa buku sejarah G30S
banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya,
jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh
pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung
mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno
malah menghentikan gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno
tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab
pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang
diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan
Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali
pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1. Mengubah kenyataan adanya
komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu anggotanya,
menjadi semacam fiksi belaka.
2. Sebaliknya mengubah fiksi
menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan
Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh
Soeharto).
3. Melikuidasi kelompok Yani
sebagai rival potensial Soeharto. 4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai
pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.
Nasib AH
Nasution
Nasution meninggal dunia
menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di
sisi Allah SWT, Amin.
Dialah perwira yang paling tinggi
pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat,
sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak
transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu
Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen
TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal
anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik
pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar
pahlawan.
Selain sangat berpengalaman di
bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi
ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver
politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa
masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah.
Yang tidak banyak diketahui orang
adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno
saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus
gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung
Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang
adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin
Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans
mereka menjadi presiden sama besarnya.
Tetapi Nasution dilipat oleh
Soeharto. Ia - seperti halnya Yani - tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia
benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu
tersebut. Dia benar-benar tidak tahu - bahkan tidak menduga - bahwa Soeharto
yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam
Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga
Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa
Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution?
Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik
kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah
pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok
bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang
gagasan Bung Karno.
Saya mengatakan Soeharto
mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada
contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima -
adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB
Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu - 1
Oktober 1965 - Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di
Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan
Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja
masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri
oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat
langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja
terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD
Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk
menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI
agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari
Detik ke Detik).
Rapat akhirnya sepakat menolak
perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui
dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di
Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang
menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri.
(Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia
mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak
perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden
mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana
sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi.
Setelah rapat memutuskan banyak
hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution
keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di
Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari
pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih
berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai.
Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya
diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai.
Dengan cara seperti itu Soeharto
sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari
mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat
itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak
marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan
dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari
cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa
jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih
stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir
selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Dari peristiwa itu tampak
kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu
seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam
rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun
dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan:
Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi
PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik
kekuatan-kekuatan anti-komunis - baik dari militer maupun sipil - ke pihak
Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan
momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Ada satu kalimat Nasution yang
ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian:
Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang.
Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya
diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan
diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta,
ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa.
Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden
Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok
bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana
Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar
mendapatkannya: Pangkopkamtib
BAB 3 : Kuasa Berpindah
Peran
Mahasiswa
Ada masa di mana Indonesia lowong
kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam
bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi.
Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan
Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara
formal dia adalah Menpangad.
Bung Karno pada tenggang waktu
itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh,
baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil.
Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun
mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun Bung
Karno akrab dengan PKI.
Sepintas tampak ada dualisme
sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung Bung
Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga menentang PKI,
namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa
transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak
tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta
merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat
tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya
sesama perwira tertinggi.
2. Menghabisi PKI, partai besar
yang akrab dengan Bung Karno
3. Melumpuhkan para menteri
pembantu presiden
4. Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap?
Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang diperhitungkan.
Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat
menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus
melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal
saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno
masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah
tidak berfungsi.
Untuk mengimbangi - lebih tepat
melumpuhkan - sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa.
Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen
Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo
mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno.
Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1. bubarkan PKI
2. bersihkan anggota kabinet dari
unsur-unsur PKI
3. turunkan harga kebutuhan
pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat
sebagai presiden - lantas membubarkan KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul
kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar
Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan
karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa
berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang diprakarsai
oleh Soeharto.
Sementara itu harga kebutuhan
pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga itu
terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua pengusaha
Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob Hasan
(juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu
antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi melambung
sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai 300%. Rakyat
tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi
intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto
dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen
Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala
stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan
jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan
Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya
diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan
Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker
Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan cara
kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.
Sementara, gerakan mahasiswa
menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir setiap
hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang
mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas
mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan
rakyat.
Siapa pun yang menjadi presiden
saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang
meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara
Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat
itu tidak kelihatan.
Saya menilai hanya sebagian
mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok
sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian dari mereka
pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka
adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi
gerakan mereka didukung oleh tentara dan rakyat - dua kekuatan utama bangsa ini
- sehingga sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani
menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa
terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966
ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di
Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti menjadi
Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan
semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak
turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di
P&K mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa
menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul
sambil lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo
turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui surat kabar menyebutkan
bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesatkan masyarakat. Bahan
kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa
bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan
mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni - menurut
saya - adalah: bubarkan PKI.
Sebagai gambaran: kelak setelah
Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus
mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan peraturan
NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu
terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya di
dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri
dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur
antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR
pertengahan Mei 1998.
Saya tidak pernah menyesal pada
sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu
memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini
cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1
Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.
Bung Karno memang masih sebagai
Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali,
baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan
PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu
susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan
pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno
dari tampuk kekuasaannya.
Namun gerakan mahasiswa ternyata
ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang Kabinet Presiden
Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut
Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan
pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak
akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak
dapat bicara lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan
Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando…
Inilah pernyataan Bung Karno di
depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang berapi-api, semua
pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan
Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka
semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam
waktu dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.
Maka setelah itu - pada malam
hari berikutnya - saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan
Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden.
Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada tanggal 20 Januari 1966 para
menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian paling
depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya pendukung
Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun
secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Namun Bung Karno tidak melakukan
follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada
perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para
pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain
menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando
ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan,
saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
Supersemar
Sebuah sumber saya mengatakan
bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di
Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud,
Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan:
Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat penuh
dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana
aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat
dengan ide Menpangad.
Lantas Soeharto menyampaikan
pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak
menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa.
Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia
menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja
berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret
1966) di Istana Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi
sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju
Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra
Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa
meletuskan tembakan peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah
dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan
mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara
(belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan
Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga sudah
setuju.
Tentara mengenakan seragam
loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa
menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu
melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun
dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadap-hadapan
dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Saya berkesimpulan bahwa Soeharto
mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan
benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya menilai
Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi
terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu
bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang
luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat
angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan
Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet
itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto
ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan
Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet - ia bersama Basuki Rachmat dan M
Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat
bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan
leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa
pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas
bahwa Soeharto adalah pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang
Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia
ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto:
1. dalam keadaan Istana dikepung
oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan bertanya kepada
Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah
Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak tewas.
2. Jika Soeharto melaksanakan
perintah, maka namanya bakal merosot di mata para demonstran yang ia gerakkan
sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3. Jika Soeharto menolak perintah
di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung
Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto
seketika itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi
Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura
sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah
dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan
tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya
sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966
dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah
Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden,
Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di
luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar
meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya
lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena
terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang
kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin karena kegerahan duduk
lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta
sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat
kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak,
saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang -
ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah - saya sempat bingung, akan ke
mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar
keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno
yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda,
entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil
saya - dan mobil semua menteri - sudah digembosi oleh para demonstran.
Dalam kondisi hiruk-pikuk di
sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya
adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati
ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam
kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu
menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke
selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank
Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya
berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini
perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi
bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya
memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya
sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran.
Di dalam buku-buku sejarah
disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung
Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti
saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada helikopter.
Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau
mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak
tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung
Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan
dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah - ketika berlari menuju heli
tanpa sepatu - saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr.
Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya
bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Jadi sebenarnya begitu
meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada
tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran
Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung
Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk
membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu
Bung Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya
merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan
mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan
hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam.
Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik
mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan
mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga
bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal
menjadi buktinya.
Menjelang petang Istana Bogor
didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika
itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan
Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat
istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka di
gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di
paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung
Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami
masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung
Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk di
depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan
Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi
intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1. mengamankan wilayah Jakarta
dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan
lainnya.
2.
Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan
dilaksanakan
3.
Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4. Penerima
mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin
terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya
Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya
mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju.
Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan
negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti
ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan
Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan.
Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih
hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban
Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini
sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting.
Bagaimana, Ban, setuju? Tanya
Bung Karno lagi.
Ya, bagaimana, bisa berbuat apa
saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh
Bung Karno: Tapi kau setuju?
Kalau bisa, perintah lisan saja
kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya
tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir
itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa
tegang.
Lantas Amir Machmud menyela:
Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak..
Bung Karno rupanya sudah ditekan
tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi
seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.
Akhirnya saya setuju. Chaerul dan
Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga
jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus
mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam
bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka.
Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan
Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto
langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan
surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan
ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih
aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada
Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto
tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk
penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai
menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga
menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu
presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Yang
jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang:
terlibat G30S/PKI - tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia
sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik
kebijaksanaan pemerintahan
Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966
sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung Karno menyerahkan
kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai
orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto
membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih
puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
- habisi para jenderal saingan
- hancurkan PKI
- copoti para
menteri
-
jatuhkan Bung Karno.
Kini yang dicapai Soeharto sudah
tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.
Bung Karno pun bereaksi. Tidak
benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan Leimena menemui Soeharto
menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan
Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada
Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris.
Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena protes pada Soeharto
karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak Leimena
jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa.
Leimena kembali ke Istana Bogor
melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya
kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa
saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga
di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan
Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota
PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk
memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa
agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk
kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi
adalah:
1. Saya (Waperdam-I merangkap
Menlu, merangkap Kepala BPI)
2. Waperdam-II Chaerul Saleh
3. Menteri
Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4. Menteri Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan Sumardjo
5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6. Menteri Bank
Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7. Menteri Pertambangan Armunanto
8. Menteri
Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9. Menteri Perburuhan Sutomo
Martoprojo
10.
Menteri Kehakiman Andjarwinata
11. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri
Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i
13. Menteri Sekretaris Front
Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan
Koperasi Ahmadi
15. Menteri Dalam Negeri
merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15
menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu
sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional.
Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara
yang melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari
kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam
logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober
1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto
langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi
dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional
seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?
Melenggang Ke
Istana
Kini sudah tinggal setengah tahap
lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar -
ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia - Bung Karno
sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya
yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu.
Setelah PKI resmi dibubarkan,
tiga tokoh pimpinan PKI - yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman - ditangkap
hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak
memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas
diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara
tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan
ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti
itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya
(memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili.
Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto
terlibat G30S.
Setelah Supersemar, Soeharto
membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya
dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya
dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang
sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah
mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.
Bersamaan dengan itu pembantaian
besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI,
teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka
halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang
mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah
pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966
Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga
memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno
sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar
Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui,
pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung
Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas
usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.
Pada awal Juli 1966 Soeharto
menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian - 5 Juli 1966 -
MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi
wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet
Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden
Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak
itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih
menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok Bayangan Soeharto.
Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden Soekarno
melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian
dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani
ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka
semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis
Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju
kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara
politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan
MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S.
Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD
1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada
dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden
tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban.
Sejak itu Bung Karno (secara
formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara
non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD
yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan
Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula
Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS
yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963.
Dalam Sidang Kabinet pada bulan
Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden
RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang
intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya.
Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar
dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara.
Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh
Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat
proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir
dan para ulama.
Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS
menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan
Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan nasional kepada
Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil
pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan
Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial
politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI)
DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal
negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu
tangan: tangan dia sendiri.
Sebaliknya, terhadap Presiden
Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
- Presiden Soekarno dinilai tidak
dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya - Presiden Soekarno dinilai
tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang
Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu
yang akan datang
- Juga menarik mandat MPRS
terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9
sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden
hasil Pemilu.
- Pjs Presiden tunduk dan
bertanggung-jawab terhadap MPRS. - Persoalan hukum yang menyangkut Presiden
Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan
kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan
Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan Bung Karno
disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya
tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan
secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja,
setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI.
Saat itu - bahkan sampai sekarang
- saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik,
juga sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi
mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan
sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu
Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang
dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan
pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara merangkak, itu karena terpaksa.
Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus
melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu
begitu kuat.
Akhir Hayat
Untung
Setelah ditangkap saya langsung
ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan
dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan - seperti naik
banding dan kasasi - sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima
vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi
orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat
dan dihukum mati.
Saya menjalani hukuman awal di
Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya
(dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah Letkol Untung
yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara
walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati.
Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih
tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
Sampai suatu hari di akhir 1966
Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Diberitahukan bahwa Untung akan
dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan Untung
yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam
suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik.
Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu
memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi) empat hari
kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada
hari Sabtu.
Sebelum Untung dijemput untuk
dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu ia sudah ditanya
tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi.
Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah
tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung
benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian
seragam narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung segera akan ditembak,
sedangkan saya empat hari lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan
Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat
Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara
berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak
jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk
berpesan kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak
Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana
katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara
bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak
menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak
menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari
sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak mungkin
Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia
mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan
pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh
Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan
Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir
dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan
ini.
Menjelang senja, Untung dengan
pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara
Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap.
Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin
pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah
perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah
desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib
Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari
itu, saya membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya
kepada saya sesaat sebelum meninggalkan penjara karena ternyata dia tidak
menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung
dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari
kematiannya sudah ditentukan. Tetapi - inilah keajaiban - Presiden Amerika
Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan
saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang
sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu - ini
juga ajaib - hampir sama.
Intinya berbunyi demikian:
Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat. Soal,
apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu
dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain.
Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik.
Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi
ditembak mati.
Tentang mengapa dua orang
pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu
persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya,
tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi
pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya
sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya
minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara dan dalam pengawasan
ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan lupa,
saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika
perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua
negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain.
Tetapi bagaimana pun saya juga
tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S
sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa berani mengirimkan kawat
ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi
hukuman seumur hidup.
BAB 4 : Bio-Data & Kuasa Berpindah
(Tamat)
Karir
Saya
Jika ada yang bertanya: lantas
mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka saya akan balik bertanya: siapa
yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka
Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang
sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17
juta anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya
ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat
pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI
tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu karena tidak ada
instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno - yang
juga bisa menjadi panutan PKI - tidak memerintahkan apa-apa.
Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan
atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang
tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan
Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya
dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki
Durno.
Target penghancuran diri saya
oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah
menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut
kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:
1. |
menyingkirkan para
perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud
di G30S) |
2. |
melikuidasi PKI, partai
besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana setelah PKI dituduh
mendalangi G30S). |
3. |
memisahkan Bung Karno
dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15 menteri - termasuk saya -
sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966). |
4. |
Setelah 3 tahap itu
tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah
konstitusionil melalui ketetapan MPRS. |
Nah, saya termasuk sasaran antara
tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya
ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar
mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap
saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan.
Beberapa hari kemudian baru kami
menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap. Para tentara itu mulai
bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami,
Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno.
Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto
meraih kekuasaan.
Saya memang pernah aktif dalam
organisasi politik tapi di PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya
sama sekali bukan anggota atau simpatisan, walaupun pada saat saya masih di
puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI
banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan
pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.
Agar lebih jelas, saya paparkan
sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatan Malang), Jatim, 15
September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah,
adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga
Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa kecil Kepanjen saat itu,
keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya habiskan di Kepanjen. Saya
sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana.
Lulus SR, saya masuk MULO
(setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belum ada sekolah MULO.
Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuk sekolah terlalu dini,
sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS, saya memilih
melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempatnya di Jalan Salemba yang
kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu saya memang ingin
menjadi dokter - sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat
Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah
SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun
hanya petinggi desa.
Tetapi, dari lima saudara saya,
hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke
sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokteran, saya banyak kenal dengan para
pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka.
Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi
tertarik bergaul dengan mereka.
Saya menyelesaikan sekolah dokter
sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter.
Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi bedah perut. Saya selesaikan
ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah
mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat
jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada
lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas
Airlangga).
Sebelum lulus, tahun 1936 saya
menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya.
Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanya berbeda beberapa
tahun. Saya sedikit lebih tua.
Begitu lulus, saya langsung
ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang (sekarang RS Dr. Karjadi).
Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto
Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk
menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu
beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah
sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidup saya juga tidak pernah
praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab
saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik
berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung
Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk
oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia di Inggris,
berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak melalui proses,
misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia
tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima.
Istri saya juga setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta
besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB. Sehingga saya tidak
dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. Bung Karno hanya
menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris.
Sebelum berangkat ke London, saya
was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan saya ternyata diterima oleh
Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang. Saya juga
tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah
embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di
pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan,
saya malah memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950 baru saya disebut Duta
Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada
perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah
Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah
positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan
terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri
undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat
itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak
bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu
hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara.
Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara
seremonial tersebut.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno
menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru
saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas
saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh
Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri, menggantikan
Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali
Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatan menjadi Dubes RI untuk
AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil
oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkata demikian: Bandrio, kamu
saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan
jabatan yang luar biasa - dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi
ini saya mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnya saya menolak tawaran
itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya. Memang, saya merasa Bung
Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering
menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno
berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya membuatkan
naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan.
Walaupun saya jarang bertatap muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia
bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri.
Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami
perkembangan situasi terakhir.
Menolak tawaran Bung Karno juga
tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI
Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan
keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata
Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya
dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada
dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya
saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
Setelah Djuanda meninggal dunia,
tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno - saya sendiri, Menteri Pangan Leimena,
dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalah untuk mencari pengganti
Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak
saya lupakan.
Bung Karno memberi kami
masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung Karno menyatakan
bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masing diberi sebatang
korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung
Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya).
Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya, batang korek
utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol
Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta,
masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat
memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak diketahui
yang lain. Pemilihan pun dimulai.
Saya memasukkan setengah batang
korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan
Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi inilah pemilihan Perdana
Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masing-masing menteri
yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan hak
pilihnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Bung
Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang
korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan.
Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga
kandidat. Pemilihan macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami
saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih
dirinya sendiri.
Leimena kemudian bicara.
Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya, Indonesia butuh
perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang
statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat
adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya
Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta
bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain
Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya
adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya
Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak
bicara lagi semuanya sepakat.
Tidak lama kemudian saya dibebani
satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin
jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup berat, namun saya
laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah
haji.
Sebagai imbalan, selain digaji,
saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat.
Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu pula saya
memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa
Orde baru.
Tahun 1958 anak saya yang pertama
lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak
punya adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi
negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa anak pejabat.
Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu
sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya
untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya
khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas.
Sejak mengundurkan diri dari RS,
saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya
tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena
sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan
bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu. Ya,
saya harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi
tukang khitan anak pejabat.
Sepanjang saya menjadi pejabat
tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai
pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa
tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu.
Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah
partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka
tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi negara lainnya, termasuk
Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran kabinet. Banyak
juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan legal. Jadi, wajar
kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu
partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya) menempatkan tokohnya
di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaran ABRI. Bukankah itu hal
yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak,
presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi
tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Itulah
PKI.
Saat G30S meletus - seperti sudah
saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan. Kami keliling daerah
untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu saya diberitahu oleh
Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung
dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu kondisi negara tidak
menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak
2 Oktober 1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan
Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN
Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit -
yang sangat mungkin merupakan rekayasa - bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa
tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah
cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit
berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit
mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan
dibawa ke Halim. Aidit terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno
meninggalkan Halim.
Saya sangat yakin bahwa dalang
G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno
yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin.
Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa
lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik
di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk
Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam
G30S. Propaganda itu akan membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut
kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung
Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya
Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru,
Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya
yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit
mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan,
saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang
dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden
terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi,
Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja.
Tetapi akhirnya propaganda
Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di
benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang
Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para jenderal.
Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya
disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga - suatu nama
yang sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan.
Cerita ini diperkuat dengan
pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai
orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapi cerita ini
dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan
rakyat terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan
Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soeharto tumbang, para dokter yang
membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi: mayat para jenderal itu
utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat
terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut terendam di
dalam air (sumur) selama beberapa hari.
Saya bukan PKI. Memang, saya
pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh
AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya
ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki pertumpahan darah.
Bung Karno saat itu masih memegang kendali. Beberapa jam setelah G30S meletus,
ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang
bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak
menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan
saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI terus berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap
sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow. Saya juga pernah
ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan
senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros
utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap
pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat banyak
menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas
negara?
Saya merasa cap PKI menjadi
mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11
Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhan tentara, meskipun
saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh
pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak berubah
menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan
intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama pasukannya akan membunuh
saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15
menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya
tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah,
Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya
sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam
pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana
asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari
penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno
bagi saya baru muncul setelah saya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal
politiknya.
Di dalam penjara, saya sama
sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental, sudah jelas. Interogasi
tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan pejabat
tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara
berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri saya tentu
mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak
lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat
G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokok itu. Padahal, saya sudah dicap
pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno.
Saya diadili karena ucapan saya
bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau ada teror, tentu bakal
muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang
dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukung oleh AD untuk
melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno serta para
pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka
bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa
memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi. Sidang berlangsung
singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara.
Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret
1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini.
Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian.
Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.
Dan, pengadilan sandiwara di
banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian
berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampai sekarang, pengadilan
sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S
merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amat panjang
pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan
berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi
mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan
sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salah menjadi benar,
benar menjadi salah.
Ini sama sekali bukan pelampiasan
dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak
ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim
Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya
mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia
Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung
Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua
orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuk sel isolasi, terpisah
dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian
rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang sangat
buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu,
itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan. Luka saya
dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah
(berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itu memang
disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini sering kambuh, rasa
nyeri luar biasa.
Di dalam, saya dilarang menulis,
membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun kemudian
dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti
mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah
mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi pejabat
tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman
mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya
diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai
dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo
meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benar-benar mengalami depresi
berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi
cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang
istri pejabat tinggi negara, mendadak berubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun
meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo,
berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara.
Tidak ada lagi yang menjenguk.
Tetapi, diam-diam ada seorang
wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang
Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi
Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan
akhirnya meninggal dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak,
lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun
1990. Saya sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan narapidana. Sangat
jarang ada wanita setulus dia.
Kini hidup saya tidak sendiri
lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap pekan ada lagi
orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Sri muncul di saat semangat
hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawakan saya nasi rawon kesukaan
saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepada saya. Sebagai sesama
korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan
hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih
sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya
dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di
Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di
pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara.
Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Saya bersujud syukur alhamdulillah,
masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahun menempati rumah itu, kami
merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal. Sebagai seorang dosen di
sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidak seberapa. Apalagi saya,
penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden
Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun. Akhirnya
kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil
di Jakarta Selatan.
Setelah Soeharto tumbang, banyak
orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya
tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada
gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah
menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI,
dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya
sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap
Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau
saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak
saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik
dari dalam maupun luar negeri terus menghubungi saya, baik melalui telepon
maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan.
Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini
bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh
sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu
pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latief juga membuat buku
berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidak mengungkap total
misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review
edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan di
sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief
dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempat bimbang. Keinginan
saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak penulis
kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoar saya. Dalam kebimbangan itu
saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya,
Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab
saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan
dia yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin
banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum, G30S adalah masalah internal AD,
dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelaku sejarah G30S yang mengalami
semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin,
inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di
akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin.
Komentar
Teror, teror, dan teror. Tidak
henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang mampu menghentikan
teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965, dilanjutkan pada Pemilu 1972.
Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung-dengungkan, untuk memperkuat
rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi
rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror
mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan
teror mental dan fisik.
Soeharto yang pada 1966
menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaannya malah meneror mahasiswa.
Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi,
bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik
keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan
istri Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu
Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka,
ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia.
Teror yang disebar oleh rezim
Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan setelah membantai jutaan kaum
komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah diumumkan, jangan macam-macam
dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari generasi
muda juga diartikan sebagai melawan penguasa. Maka, harus dihabisi.
Bukti dari kesimpulan ini sudah
kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari
masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjutkan dengan teror, penangkapan
serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang
dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari).
Lantas dilanjutkan tindakan
represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo pada tahun 1978. Demo damai umat
Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaian Tanjung Priok. Kekerasan demi
kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari kursi
kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian
massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan
pembantaian yang mengerikan.
Di koran dipasang foto kepala
manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim malah lebih gila
lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk dengan bambu runcing dan
diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiran saya, kepala
manusia yang sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang
melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini
sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat.
Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat
brutal di masa lalu - pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Kudeta merangkak itu
bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang dibantai pada tanggal 1
Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang dimanipulasi. Ketiga, darah
Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga,
simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh, dan para petani.
Pembaca yang budiman, mengetahui
kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap
manusia. Lantas, di mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini
ditulis? Saya berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang
tengah malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto.
Sekali pun kita mencoba melupakan
sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas
setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan jenderal akan
bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang
semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan
manusia dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa?
Penghancuran PKI yang diikuti
dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat dukungan kekuatan imperialisme
internasional, terutama Amerika Serikat yang mengklaim diri sebagai negara
demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang
sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan
sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang
menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat
itu.
Peristiwa ini bukan hanya
peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan
konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa imperialisme
internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak
lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat dunia.
Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia.
Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan
negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi.
Hasil dari semua itu adalah
penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran
kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuis demokrasi liberal,
seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya,
ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi militer.
Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang sulit
diatasi oleh generasi penerus.
Di sisi lain, kebungkaman
terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus segera diakhiri. Atas nama
kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama semua anak bangsa yang
dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak
yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas nama golongan mana pun yang
sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri
kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di dalam
maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu
pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.
Eksistensi rezim kriminal
Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para jenderal fasis,
pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti
serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak
manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Hari ini tidak lagi terlalu pagi
kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik awal ini dimulai oleh
generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang
hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan
selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman!
Dr. H Soebandrio, Kesaksianku
tentang G30S, KOMENTAR (18-9-2000)