Oleh: Jelantik Sutanegara Pidada
Meskipun partai politik mendukung gerakan politik perguruan tinggi 
turun ke jalan, nyatanya mahasiswa sebagai motor gerakan tidak terseret 
pada politik praktis, misalnya gerakan turunkan presiden atau bubarkan 
pemerintah seperti terjadi pada tahun 1998. Walaupun ada, wacana itu 
bukanlah premis mayor gerakan politik perguruan tinggi. Namun, fenomena 
ini telah menyulut api sekam gerakan politik perguruan tinggi.
Disulut rencana pemerintah menaikkan harga BBM, gerakan politik 
perguruan tinggi mulai riuh. Kehidupan parlemen jalanan mulai berdenyut 
diprakarsai mahasiswa yang berdemonstrasi di seluruh Indonesia. 
Akibatnya, pemerintah mulai khawatir gerakan ini bakal mengganggu 
jalannya roda pemerintahan. Presiden SBY secara tidak langsung menyebut 
gerakan mahasiswa tersebut sebagai fenomena aneh. Ada apa dengan gerakan
 politik perguruan tinggi?
Kekhawatiran pada gerakan politik perguruan tinggi akan semakin 
membesar dan meluas secara kasat mata berusaha diantisipasi. Presiden 
dalam lawatannya ke Cina dengan pesawat kepresidenan baru, berusaha 
menyertakan mahasiswa. Alasannya pun dibuat logis, bahwa akan ada agenda
 pembicaraan mengenai kepemudaan, khususnya pertukaran mahasiswa. 
Setelah itu, Rektor Perguruan Tinggi seluruh Indonesia dikumpulkan 
Mendikbud untuk diberikan pemahaman mengenai logika pemerintah menaikkan
 harga BBM. Namun, mahasiswa tak bergeming. Ketua BEM perguruan tinggi 
menolak diajak jalan-jalan ke Cina. Rektor, pascapertemuan di 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak ada yang mengeluarkan 
statemen.
Sebaliknya, partai oposisi yang dipimpin PDI-P secara langsung 
mendukung gerakan politik mahasiswa dengan ikut serta turun ke jalan 
memprotes kenaikan harga BBM. Beberapa kepala daerah yang berasal dari 
partai oposisi dituduh menggerakkan masa mendukung demonstrasi 
mahasiswa. Akibatnya, menteri dalam negeri mengancam akan memecat bupati
 atau gubernur yang menggerakkan massa turun ke jalan itu.
Meskipun partai politik mendukung gerakan politik perguruan tinggi 
turun ke jalan, nyatanya mahasiswa sebagai motor gerakan tidak terseret 
pada politik praktis, misalnya gerakan turunkan presiden atau bubarkan 
pemerintah seperti terjadi pada tahun 1998. Walaupun ada, wacana itu 
bukanlah premis mayor gerakan politik perguruan tinggi. Namun, fenomena 
ini telah menyulut api sekam gerakan politik perguruan tinggi.
Purifikasi
Bila pada masa lalu gerakan politik perguruan tinggi dengan 
demonstrasi di jalanan dimulai dari perguruan tinggi besar di ibu kota, 
maka kini gerakan dimulai dari daerah, dari perguruan tinggi swasta 
kecil. Apakah ini menunjukkan perguruan tinggi besar di ibu kota tidak 
peduli dengan urusan harga BBM yang berkaitan dengan kepentingan rakyat 
kecil? Tidak juga, perguruan tinggi besar di ibu kota sebenarnya 
menyadari bahwa dari sudut pandang ekonomi makro, kenaikan (baca: 
penyesuaian) harga BBM dipandang logis. Demi terjaganya pertumbuhan 
ekonomi, dengan perhitungan yang akurat, kenaikan harga BBM dipandang 
sebagai salah satu turbulensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena
 masalah kenaikan harga BBM ini sangat sensitif digunakan sebagai alat 
politik menjatuhkan pemerintah, maka ada nuansa kehati-hatian perguruan 
tinggi besar di ibu kota untuk melakukan kegiatan total dalam menyikapi 
kenaikan harga BBM itu. Mereka takut dituduh ditunggangi, dibayar, 
ataupun dikooptasi kepentingan politik praktis.
Alhasil, perguruan tinggi besar di ibu kota lebih memilih untuk 
memperjuangkan aspirasinya melalui jalur formal dengan mengikuti sidang 
di gedung parlemen. Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wakil 
rakyat yang tengah dibelenggu ketidakpercayaan publik akibat korupsi, 
mobil mewah, malas sidang, perpecahan koalisi, dan persoalan lain 
mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM atau tidak.
Kalaupun ada gerakan demonstrasi cukup besar di luar gedung DPR/MPR 
saat paripurna penentuan kenaikan harga BBM, namun itu lebih diakibatkan
 desakan dari demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah oleh mahasiswa
 perguruan tinggi swasta kecil di daerah. Aparat pun terkesan membiarkan
 demonstrasi itu berlangsung, sampai waktunya harus dibubarkan.
Fenomena menarik dari gerakan politik perguruan tinggi yang terjadi 
selama ini ialah terjadinya apa yang disebut purifikasi gerakan yang 
dimurnikan oleh situasi dan keadaan konstelasi politik nasional yang 
semakin hari tampak semakin tak tentu arah. Kritik besar terhadap 
kegagalan sistem demokrasi yang diperjuangkan melalui gerakan reformasi 
semakin sering didengungkan, baik oleh politisi oposisi di luar 
pemerintahan maupun oleh politisi yang sedang menikmati kekuasaan di 
pemerintahan.
Purifikasi gerakan politik perguruan tinggi tampak dari gejala 
semakin kreatifnya gerakan politik itu dilakukan. Pengambilalihan lahan,
 blokade wilayah industri, sampai pendudukan bandar udara, pelabuhan, 
dan gedung pemerintahan telah mulai dilakukan. Bak gayung bersambut, 
gerakan politik perguruan tinggi juga diikuti oleh gerakan petani 
memperjuangkan lahannya, gerakan buruh menaikkan upah, dan gerakan kaum 
miskin kota memperjuangkan nasibnya.
Api Sekam
Rezim pemerintahan saat ini, bila dicermati dibebani oleh dua kasus 
besar, yakni kasus kecurangan pemilu dan mega korupsi. Dua periode 
pemerintahan SBY, ditandai hengkangnya anggota KPU ke Partai Demokrat. 
Anas Urbaningrum yang sekarang berhasil menjabat ketua umum Partai 
Demokrat lebih dulu meninggalkan KPU yang kemudian pada periode 
berikutnya disusul Andi Nurpati. Secara implisit peristiwa itu 
menandakan adanya hubungan antara anggota KPU dengan proses terpilihnya 
SBY sebagai presiden dan melambungnya perolehan kursi DPR yang direbut 
Partai Demokrat.
Mega korupsi? Tentu saja dapat menjadi alat ampuh lawan SBY dan 
Partai Demokrat untuk menghancurkannya. Bukankah dalam teori politik ada
 istilah to kill or to be kill? Kasus Bank Century, kasus politik uang 
pemilihan ketua umum Partai Demokrat, dan kini kasus-kasus mega proyek 
yang menyeret petinggi partai bisa menjadi senjata ampuh menghancurkan 
SBY dan Partai Demokrat.
Fenomena mantan kepala negara dijadikan pesakitan setelah menjabat 
telah terjadi di negara tetangga seperti Thailand dan Filipina. Melihat 
kecenderungan itu, bukan mustahil juga akan terjadi di negeri ini. Pada 
saat itu, api sekam gerakan politik perguruan tingga siap menyala.
* sumber : Penulis, mengajar di Fakultas Sastra Unud dan Pascasarjana Unhi
 https://www.facebook.com/groups/nasionalis/doc/306156322787479/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar